‘AMR BIN ’UTSMAN

Abu Abdullah , ’Amr bin’Utsman al-Makkiy, salah seorang murid Junaid, mengunjungi Isfahan dan meninggal dunia di kota Baghdad pada tahun 291 H/ 904M. atau pada tahun 297H/910M.

’AMR BIN ’UTSMAN AL-MAKKIY DAN KITAB RAHASIA
Suatu hari ’Amr bin ’Utsman aI-Makkiy menterjemahkan Kitab Rahasia di atas sehelai kertas. Kertas tersebut ditaruhnya di
bawah sajadahnya. Ketika, ia pergi bersuci, saat itu ia dengar ada kegaduhan., lalu ia menyuruh seorang hambanya untuk mengambil kertas tersebut. Si hamba membalik sajadah itu, ternyata kertas tersebut telah hilang. Hal ini segera disampaikannya kepada tuannya.
“Buku itu telah hilang, dicuri orang”, ’Amr bin·’Utsman berkata. Kemudian ia menambahkan, “Orang yang mencuri Kitab Rahasia itu niscaya dalam waktu dekat ini akan dipotong kaki dan tangannya. Ia akan dimasukkan ke dalam kurungan, kemudian dibakar dan abunya akan diterbangkan angin. Pada saat ini pastilah ia telah sampai ke tempat Rahasia itu”,

Baca lebih lanjut

DZUN NUN AL-MISHRI

Abul Faiz Tsuban bin Ibrahim al-Mishri, yang dijuluki Dzun Nun, lahir di
kota Ekhmim yang terletak di pedalaman Mesir, sekitar tahun 180 H/796 M.
Banyak guru-guru yang telah diikuti Dzun Nun dan banyak pengembaraan yang
telah dilakukannya di negeri Arab dan Syria. Pada tahun 214 H/829 M, Dzun
Nun ditangkap dengan tuduhan bid’ah dan dikirim ke kota Baghdad untuk di-
penjarakan di sana. Setelah diadili, khalifah memerintahkan agar ia dibebaskan
dan dikembalikan ke Kaim. Di kota ini ia meninggal tahun 246 H/861 M.
Kuburan Dzun Nun sampai kini masih terpelihara dengan baik. Secara legendaris
beliau dianggap sebagai seorang ahli al-kimia yang mempunyai kekuatan-kekuatan
ghaib dan telah mengetahui rahasia tulisan Hiroglif Mesir. Serangkaian syair dan
risalat diduga sebagai karya-karyanya, tetapi kebanyakannya masih diragukan.
Baca lebih lanjut

RABI’AH AL-ADAWIYAH

Rabi‘ah binti Ismail al-Adawiyah, berasal dari keluarga miskin. Dari kecil ia tinggal di Bashrah. Di kota ini namanya sangat harum sebagai seorang manusia suci dan seorang pengkhotbah. Dia sangat dihormati oleh orang-orang saleh semasanya. Mengenai kematiannya ada berbagai pendapat: tahun 135 H/752 M atau tahun 185 H/801 M.
Rabi’ah al-Adawiyah yang seumur hidupnya tidak pernah menikah, dianggap mempunyai saham yang besar dalam memperkenalkan cinta Allah ke dalam Islam tashawuf. Orang-orang mengatakan bahwa ia dikuburkan di dekat kota Yerussalem.

Baca lebih lanjut

HABIB AL-’AJAMI ra Sang Sufi dari Persia

Habib bin Muhammad al-’Ajami al-Bashri, seorang Persia yang menetap di Bashrah, adalah seorang ahli Hadits terkenal yang merawikan hadits-badits dari Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin dan tokoh-tokoh terpercaya lainnya. Pertaubatannya dari kehidupan yang ugal-ugalan dan berfoya-foya adalah karena dalil-dalil yang dikemukakan oleh Hasan dengan sedemikian fasihnya. Habib aI·’Ajami sering mengikuti pengajaran-pengajaran yang disampaikan oleh Hasan sehingga akhirnya ia menjadi salah seorang sahabat beliau yang paling akrab.

KISAH HABIB Sl ORANG PARSI
Semula Habib adalah seorang yang kaya raya dan suka membungakan uang. la tinggal di kota Bashrah, dan setiap hari berkeliling kota untuk menagih piutang-piutangnya. Jika tidak memperoleh angsuran dari langganannya maka ia akan menuntut uang ganti rugi dengan dalih alas sepatunya yang menjadi aus di perjalanan. Dengan cara seperti inilah Habib menutupi biaya hidupnya sehari-hari.

Baca lebih lanjut

ABU HAFSHIN AL-HADDAD

“…. Pada suatu hari seorang buta berjalan di dalam pasar sambil membaca ayat “Aku berlindung kepada Allah dari syaithan yang terkutuk. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Maka akan ditunjukkan Allah kepada mereka yang tak pernah mereka sangka sebelumnya …… “
Ayat ini menyesakkan dada Abu Hafshin sehingga ia tak sadarkan diri. Sehingga, ketika itu di bengkel pertukangannya, sebagai ganti jepitan ia masukkan tangannya ke dalam tungku perapian untuk mengambil sepotong besi yang sedang membara. Besi tersebut ia taruh ke atas paron untuk dipalu anak-anak buahnya. Semua anak buah Abu Hafshin tersadar, betapa Abu Hafshin menempa besi panas itu dengan tangannya sendiri.
“Tuan, apakah yang engkau perbuat ini?” seru mereka.
“Palu!” Abu Hafshin memberi perintah.
“Tuan, apakah yang harus kami palu?” tanya mereka, “besi ini telah bersih”.
Barulah Abu Hatshin sadar. Dilihatnya besi yang membara di tangannya dan didengarnya seruan-seruan anak buahnya: “Besi itu telah bersih. Apakah yang harus kami palu?” Besi tersebut dilemparkannya. Bengkel itu segera ditinggalkannya dan siapa pun boleh mengurusnya.
“Sudah lama sebenarnya aku ingin meninggalkan usaha tersebut, tapi tak dapat. Akhirnya kejadian ini menimpa diriku dan secara paksa membebaskanku. Betapa pun aku mencoba meninggalkan usaha itu, namun sia-sia, akhirnya usaha itu sendiri yang meninggalkan diriku”
Sesudah itu, Abu Hafshin menjalani kehidupan dengan disiplin diri yang keras, menyepi dan bermeditasi….”

Baca lebih lanjut